Rabu, 17 April 2013

Tugas Audit II Resume Pemantauan Korupsi : Bukti dari Percobaan Lapangan di Indonesia



Penulis : Benjamin A. Olken
Harvard University and National Bureau of Economic Research

Korupsi dapat menjadi penyumbang utama terhadap rendahnya pertumbuhan di banyak negara berkembang. Salah satu pendekatan untuk mengurangi korupsi, setidaknya ada perpaduan yang tepat dari monitoring (pemantauan) dan punishment (hukuman) dapat mengendalikna korupsi. Namun dalam praktiknya, dari setiap individu tersebutlah peranan penting pemantauan dan penegakan tentang korupsi tersebut. Dari hal tersebut mampu membuat peningkatan pemantauan pejabat tingkat rendah yang dipantau oleh pejabat tingkat tinggi yang disebut top-down monitoring. Adapun pendekatan alternatif yang beberapa tahun belakangan ini sangat terkenal yaitu dengan peningkatan partisipasi grassroots, dimana melibatkan anggota masyarakat dalam pemantauan tingkat kokal (daerah).
Dalam makalah tersebut peneliti melakukan pengujian apakah pemantauan grassroots dapat efektif dalam mengurangi korupsi yang ada. Pengujian ini dilakukan secara acak di 608 desa di Indonesia. Pada awal penelitian, setiap desa akan mulai membangun jalan desa sebagai bagian dari proyek infrastruktur nasional tingkat desa. Dalam pengujian pemantauan dampak eksternal, secara acak beberapa desa untuk diberitahu, setelah dana diberikan tapi sebelum pembangunan dimulai, bahwa proyek mereka selanjutnya akan diaudit oleh lembaga audit yang dilakukan pemerintah pusat. Dimana hasil audit tersebut dibaca publik ke rapat desa terbuka oleh auditor sehingga dapat mengakibatkan sanksi sosial yang cukup besar.
Dalam menyelidiki dampak dari meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pemantauan, peneliti merancang dua percobaan yang berbeda yang berusaha untuk meningkatkan pengawasan proyek grassroots. Secara khusus, percobaan berusaha untuk meningkatkan partisipasi pada "pertemuan akuntabilitas," pertemuan tingkat desa di mana para pejabat proyek menjelaskan bagaimana mereka menghabiskan dana proyek. Kemudian percobaan kedua, bentuk komentar anonim didistribusikan bersama dengan undangan, memberikan kesempatan warga untuk menyampaikan informasi tentang proyek tanpa takut akan pembalasan. Ini formulir komentar kemudian dikumpulkan dalam kotak drop-disegel sebelum pertemuan akuntabilitas, dan hasilnya
diringkas dalam pertemuan.
Makalah tersebut didasarkan pada literatur kecil namun meneliti keadaan korupsi dengan membandingkan dua ukuran kuantitas yang sama, satu "sebelum" dan satu "setelah" korupsi.
Kesimpulan yang penulis kemukakan dari penelitiannya tersebut yaitu meskipun auditor menemukan pelanggaran dari beberapa jenis lain atau 90 persen dari desa-desa yang mereka kunjungi, sebagian besar
pelanggaran ini adalah prosedural di alam, dan jika ada sangat sedikit, kasus di mana auditor memiliki bukti konkret yang cukup untuk dapat mengadili pelanggaran korupsi tersebut.
  • Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengundang lebih banyak warga desa untuk pertemuan monitoring pengeluaran hanya dikurangi hanya tenaga kerja, dimana tidak berdampak pada bahan namun berdampak sedikit pada keseluruhan.
  • Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengeluarkan bentuk komentar anonim untuk mengurangi pengeluaran penduduk desa jika bentuk komentar disebarkan melalui sekolah-sekolah di desa, benar-benar melewati desa pejabat yang mungkin telah terlibat dalam proyek ini. Hal ini menunjukkan bahwa harus diperhatikan dalam merancang program pemantauan grassroots untuk memastikan bahwa mereka tidak ditangkap daerah elit.
  • Memahami pentingnya implikasi jangka panajang anti korupsi, penggunaan auditor dengan rotasi perputaran sesering mungkin akan meminimalkan kegiatan korupsi karena dapat menegakkan punishment di desa yang terdeteksi adanya korupsi. 

Selasa, 02 April 2013

Pengendalian Intern berbasis COSO


Committee of Sponsoring Organizations of the  Treadway Commission (COSO) sangat terkenal dan digunakan secara luas sejak tahun 1992.  Kerangka ini telah digunakan secara luas sebagai standar pengendalian internal bagi organisasi dalam menerapkan dan mengevaluasi pengendalian internal terkait dengan operasi, kepatuhan, dan pelaporan keuangan. Termasuk di dalamnya pengendalian internal dalam rangka pelaporan keuangan sesuai dengan Sarbanes-Oxley Act of 2002 ( SOX) di AS, dan juga peraturan serupa di negara-negara lain. Di Indonesia, kerangka ini juga diadaptasi dalam berbagai ketentuan perundang-undangan terkait dengan pengendalian internal dan good governance.
COSO mendifiniskan pengendalian intern sebagai Internal control is a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding then achievement of objectives in the following categories: effectiveness and efficiency of operations; reliability of financial reporting; and compliance with applicable laws and regulations.


Adapun tiga kategori utama yang merupakan sasaran pengendalian intern dari COSO, yaitu:
Ø  Efektifitas dan efisiensi operasional (Effectiveness and efficiency of operations)
Ø  Keandalan laporan keuangan (Reliability of financial reporting)
Ø  Kepatuhan terhadap hukum dan ketentuan (Compliance with laws and regulations)

Terdapat pilar-pilar yang tersusun dimana merupakan komponen pengendalian intern yaitu :
-          Lingkungan Pengendalian (control Environment)
Terdapat integritas kolektif perusahaan atau organisasi, tata nilai dan etka, serta filosofi manajemen didalamnya.
-          Pengukuran Risiko (Risk Assessment)
Mengenai identifikasi risiko-risiko terkait, probabilitas risiko dan penentuan besarnya risiko.
-          Kegiatan Pengendalian (Control Activities)
Adanya kebijakan prosedur untuk pengamanan, seperti otorisasi, pembagian tugas yang jelas, pengamanan fisik dan kegiatan pengamanan lainnya.
-          Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Terdapat identifikasi, menangkap serta mengkomunikasikan informasi yang diperlukan oleh seluruh atau setiap karyawan untuk melaksanakan tugas tanggungjawabnya.
-          Monitoring
Merupakan kegiatan evaluasi untuk menilai kecukupan dan pengaruh pangendalian intern yang berjalan terhadap risiko perusahaan.
Seluruh komponen tersebut tentunya menjadi pertimbangan untuk beberapa jenis perusahaan karena harus mempertimbangkan cost-benefitnya. Apabila biaya yang dikeluarkan tidak setimpal dengan manfaat atau keuntungan yang didapat, maka perusahaan jangan memaksakan enggunakan penuh komponen tersebut.

Implementasi :
Perusahaan BUMN

Salah satu tujuan Perusahaan BUMN adalah meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya, dimana harus didasarkan dengan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika dan tercantum dalam Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dimana terdapat salah satu peraturan mengenai sistem pengendalian BUMN.
Sistem pengendalian yang dimaksudkan dalam peraturan tersebut antara lain :
1.       Lingkungan pengendalian internal dalam perusahaan yang disiplin dan terstruktur, dimana terdiri dari :
-          Integitas, nilai etika dan kompetensi karyawan
-          Filosofi dan gaya manajemen
-          Cara yang ditempuh manajemen dalam melaksanakan kewenangan dan tanggungjawabnya
-          Pengorganisasian dan pengembangan suberdaya manusia
-          Perhatian dan arahan yang dilakukan oleh Direksi
2.       Pengkajian dan pengelolaan risiko usaha yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai dan mengelola risiko usaha yang relevan.
3.       Aktivitas pengendalian dimana tindakan-tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan perusahaan pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi BUMN, antara lain mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja dan pembagian tugas dan keamanan terhadap aset perusahaan.
4.       Sistem informasi dan komunikasi dimana proses penyajian laporan mengenai kegiatan operasional, financial, dan ketaatan atas ketentuan dan peraturan yang berlaku untuk BUMN
5.       Monitoring dimana proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi unternal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi BUMN, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal, dengan ketentuan bahwa penyimpangan yang terjadi dilaporkan Direksi dan tembusannya disampaikan kepada Komite Audit.






Selasa, 26 Maret 2013

Tahap Perencanaan Audit


Kelompok 5 Audit II tentang perencanaan audit.
Anggota kelompok :  Emi Puji Astutu (C1C010061), Ovi Shoviana (C1C010073), Trisa Lestari (C1C0100087), Erdha Ayu Chaesarani (C1C010095).
1. Mendapatkan Pemahaman Tentang Bisnis dan Bidang Usaha Klien
    Agar dapat membuat perencanaan audit secara emadahi, auditor harus memiliki pengetahuan tentang bisnis kiennya agar memahami kejadian, transaksi, dan praktik yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap laporan keuangan. Auditor harus mengetahui hal-hal berikut : 
a. Jenis usaha, jenis produk dan jasa, lokasi perusahaan, dan karakteristik operasi perusahaan, seperti misalnya metode produksi dan pemasaran.
b. Jenis industri, dan mudah tidaknya industri terpengaruh oleh kondisi ekonomi, serta praktik dan kebijakan yang lazim dalam industri tersebut.
c. Ada tidaknya transaksi - transaksi yang memiliki hubungan istimewa.
d. Peraturan pemerintah yang berpengaruh terhadap perusahaan dan industri.
e. Struktur pengendalian intern perusahaan.
f. Laporan-laporan yang harus disampaikan kepada instansi tertentu, misalnya ke Bapepam.
2.    Melaksanakan prosedur analitis
Prosedur analitis merupakan evaluasi informasi keuangan yang dilakukan dengan mempelajari hubungan yang masuk akal antara data keuangan dan data nonkeuangan. Dengan melakukan analisis ini sangat penting karena dengan melakukan prosedur analitis seluruh kegiatan pemeriksaan dapat tergambar. 
Tujuan prosedur analitis yang digunakan dalam audit:
a.    Dalam tahap perencanaan audit, membantu auditor dalam merencanakan sifat, waktu dan luasnya prosedur audit lainnya.
b.    Dalam tahap pengujian, sebagai pengujian yang substantif untuk memperoleh bukti mengenai suatu asersi tertentu yang berhubungan dengan saldo akun atau transaksi
c.    Pada panyelesaian audit, didalam melakukan review akhir terhadap kelaayakan keseluruhan laporan keuangan yang diaudit.
Langkah – langkah dalam prosedur analitis:
a.    Mengidentifikasi perhitungan dan perbandingan yang akan dilakukan
b.    Mengembangkan ekspektasi (harapan)
c.    Melaksanakan perhitungan/perbandingan
d.    Menganalisis data dan mengidentifikasi perbedaan signifikan
e.    Menyelidiki perbedaan signifikan yang tidak diharapkan
f.     Menentukan dampak akan perencanaan audit
3.    Membuat pertimbangan awal tentang tingkat materialitas
Tahap ini sering disebut dengan materialitas perencanaan dimana sedikit berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan dalam penyelesaian audit dalam mengevaluasi temuan audit karena situasi yang ada disekitarnya mungkin akan berubah dan informasi tambahan klien akan diperoleh selama masa pelaksanaan audit.
Dalam merencanakan suatu audit, auditor harus menilai materialitas pada dua tingkat berikut:
-       Tingkat laporan keuangan kerena pendapat auditor mengenai kewajaran meluas sampai laporan keuangan secara keseluruhan.
-       Tingkat saldo akun karena auditor menguji saldo akun dalam memperoleh kesimpulan keseluruhan atas kewajaran laporan keuangan.
4.    Mempertimbangkan risiko audit
Konsep risiko audit sangat penting sebagai dasar mengekspresikan konsep keyakinan yang memadahi. Dalam tahap ini auditor harus membuat penilaian megenai berbagai komponen risiko audit yaitu risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Hai ini diperlukan untuk mengarahkan keputusan tentang sifat, waktu, dan luas prosedur audit dan keputusan mengenai penetapan staf audit.
Resiko bawaan adalah kerentanan suatu asersi terhadap salah saji material, dengan mengasumsikan tidak terdapat pengendalian. Prosedur yang dilaksanakan untuk mendukung penilaian risiko bawaan biasanya serupa dengan untuk memperoleh pemahaman mengenai bisnis dan industri. Risiko pengendalian adalah risiko bahwa salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak akan sapat dicegah atau dideteksi dengan tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak akan mendeteksi salah saji material yang ada dalam suatu asersi. Risiko deteksi dapat dinyatakan sebagai suatu kombinasi dari risiko prosedur analitis dan risiko pengujian terinci. Dalam menentukan risiko deteksi auditor juga harus mempertimbangkan kemungkinan akan membuat suatu kekeliruan.
5.    Mengembangkan Strategi Audit Awal Untuk Asersi yang Signifikan
Auditor kadang membuat keputusan pendahuluan tentang komponen model resiko audit dan mengembangkan strategi awal untuk mengumpulkan bukti – bukti. Setelah memperbaharui pengetahuan perubahan – perubahan dalam entitas dan lingkungan, dan menjalankan sedikit prosedur rencana audit awal, auditor mungkin harus memulai untuk mengembangkan harapan apakah pengendalian internal berfungsi sesuai yang diharapkan. Auditor mengembangkan strategi audit awal untuk mengaudit asersi.
Mengembangkan strategi audit awal untuk asersi yang signifikan bertujuan agar auditor dalam perencanaan dan pelaksanaan audit dapat menurunkan risiko audit pada tingkat serendah mungkin untuk mendukung pendapat auditor mengenai kewajaran laporan keuangan.Terdapat dua alternatif strategi audit yaitu:
a.    Primarily Substantive Approach
Strategiinibiasadigunakandalam audit klien yang pertama kali daripada audit atasklien lama. Strategiinilebihmengutamakanpengujiansubstantifdaripadapengujianpengendalian.Auditor relatiflebihsedikitmelakukanproseduruntukmemperolehpemahamanmengenaistrukturpengendalian intern klien.
b.    Lower Assessed of Control Risk Approach.
Inimerupakankebalikandaristrategi yang pertama, dimana yang lebihdiutamakan dalamstrategiiniadalahpengujianpengendaliandaripadapengujiansubstantif.Tetapi auditor dalamhalini auditor  bukanberartitidakmelakukanpengujiansubstantiftapitidak se-ektensifpadapendekatan yang pertama. Auditor lebihbanyakmelakukanproseduruntukmemperolehpemahamanmengenaistrukturpengendalian intern klien.Strategiiniseringdigunakandalam audit klien lama.
6.    Pemahaman Atas Pengendalian Intern
Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris,manajemen,dan personel lain yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tujuan yaitu keandalan pelaporan keuangan,kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku,dan efektivitas dan efisiensi operasi. Secara umum, auditor perlu memperoleh pemahaman tentang pengendalian intern kliennya untuk perencanaan auditnya. Secara khusus pemahaman auditor tentang pengendalian intern yang berkaitan dengan suatu asersi digunakan dalam kegiatan: kemungkinan dapat atau tidaknya audit dilaksanakan, salah saji material yang potensialdapat terjadi, risiko deteksi, dan perancangan pengujian substantive.
Dalam memperoleh pemahaman atas pengendalian intern auditor menggunakan tiga macam prosedur audit yakni: (1) mewawancarai karyawan perusahaan yang berkaitan dengan unsur pengendalian, (2) melakukan inspeksi terhadap dokumen dan catatan, (3) melakukan pengamatan atas kegiatan perusahaan. Informasi yang dikumpulkan oleh auditor dalam melaksanakan prosedur audit tersebut adalah rancangan berbagai kebijakan dan prosedur dalam tiap – tiap unsur pengendalian dan apakah kebijakan dan prosedur tersebut benar – benar dilaksanakan. Terdapat lima unsur pokok pengendalian intern yaitu: lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, informasi dan komunikasi, aktivitas pengendalian, serta pemantauan.

Selasa, 19 Maret 2013

Mengetahui Tentang Standar Auditing yang Berlaku Umum


Standar Umum
  1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditorDalam melaksanakan audit sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasabertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing.
  2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatanindependensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Kepercayaan masyarakat umum atas independensi sikap auditor independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik. Untuk menjadi independen, seorang auditor harus jujur secara intelektual.
  3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menekankan tanggungjawab setiap profesional yang bekerja dalam organisasi auditor.

Standar Pekerjaan Lapangan
  1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. Penunjukan secara dini memungkinkan auditor merencanakan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan cepat dan efisien serta dapat menentukan seberapa jauh pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan sebelum tanggal neraca.
  2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh unutk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. Pemahaman ini berguna untuk merencanakan audit dengan melaksanakan prosedur dimana nantinya auditor paham akan desain pengendalian yang relevan dengan audit atas laporan keuangan, dan apakah pengendalian tersebut dioperasikan. Setelah itu auditor menaksir resiko pengendalian dan selanjutnya auditor dapat mencari pengurangan lebih lanjut resiko pengendalian taksiran untuk asersi tertentu.
  3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. Bukti audit sangat bervariasi pengaruhnya terhadap kesmpulan yang ditarik oleh auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. Relevansi, objektivitas, ketepatan waktu, dan keberadaan bukti lain yang menguatkan kesimpulan, seluruhnya berpengaruh terhadap kompetensi bukti.

Standar Pelaporan
  1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di IndonesiaDalam hal ini tidak mengaharuskan menyatakan tentang fakta, tetapi mengharuskan auditor untuk menyatakan suatu pendapat tentang apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
  2. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. Standar ini juga disebut dengan standar konsistensi dimana menuntut auditor independen untuk memahami hubungan antara konsistensi dengan daya banding laporan keuangan. Tujuan dari standar ini untuk memberikan jaminan bahwa jika daya banding laporan keuangan diantara kedua periode dipengaruhi secara material oleh perubah prinsip akuntansi kemudian auditor akan mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya.
  3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. Penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesiamencakup dimuatnya pengungkapan informatif yang memadai atas hal-hal material. Dalam mempertimbangskan cukup atau tidaknya pengungkapan, auditor menggunakan informasi yang diterima dari kliennya atas dasar kepercayaan bahwa auditor akan merahasiakan informasi tersebut. Tanpa kepercayaan, auditor akan sulit untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menanyatakan pendapat atas laporan keuangannya.
  4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor. Tujuan standar pelaporan ini adalah untuk mencegah salah tafsir tentang tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh akuntan bila namanya dikaitkan dengan laporan keuangan.

Rabu, 13 Maret 2013

Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal; Tri Ramaraya Koroy STIE Nasional Banjarmasin, Indonesia


Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal
Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian pula error dan irregularities masing-masing diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA sebelumnya yaitu PSA No. 32.
Menurut standar pengauditan,factor yang membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya,yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan,berupa tindakan yang sengaja atau tidak disengaja (IAI,2001).
Terjadinya kecurangan suatu tindakan yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan  keuangan.Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa banyak kerugian.Dari kasus-kasus kecurangan,jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (85%),korupsi (13%) dan jumlah paling sedikit (5%) adalah kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements).Walaupun demikian kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu median kerugian sekitar $4,25 juta (ACFE 2002).
Perhatian Lingkungan Audit Terhadap Kecurangan
            Perhatian yang semakin besar atas kecurangan oleh para praktisi,akademisi,dan pemerintah beberapa decade belakangan terjadi terutama karena munculnya dua asek yang berkaitan dalam lingungan audit,yaitu expectation gap dan litigation crisis (Nieschwietz et al.2000).
Pekembangan Standar-Standar Pengauditan yang Mengatur Pendeteksian Kecurangan Oleh Auditor Eksternal.
Tahun 1980an dibentuk lagi komisi khusus yang bernama National Commission on Fraudulent Financial Reporting atau sering disebut Komisi Treadway. Komisi ini bertugas untuk memberi rekomendasi atas upaya meningkatkan proses mendeteksi dan mengatasi pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan. Komisi.
AICPA pada tahun 1988 telah mengeluarkan standar pengauditan yang sering disebut the expectation gap auditing standards, yang terdiri sembilan standar. Salah satunya yaitu SAS No. 53, The Auditor’s Responsibility to Detect and Report Errors and Irregularities, - menggantikan standar sebelumnya SAS No. 16. Standar ini menjelaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal adalah untuk mendeteksi salah saji material.
Faktor-faktor penyebab kegagalan pendeteksian kecurangan
1.      Karakteristik tejadianya kecurangan
Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya melibatkan penyembunyian (concealment).
Johnson et al. (1991) menyebutkan ada tiga taktik yang digunakan manajer untuk mengelabui auditor. Taktik pertama adalah membuat deskripsi yang menyesatkan (seperti mengatakan perusahaan yang sedang menurun sebagai perusahaan yang bertumbuh) agar menyebabkan auditor menghasilkan ekspektasi yang tidak benar sehingga gagal mengenali ketidak konsistenan. Taktik kedua adalah menciptakan bingkai (frame) sehingga menimbulkan hipotesis tidak adanya ketidakberesan (nonirregularities hypothesis) untuk evaluasi ketidakkonsisten yang terdeteksi. Taktik ketiga yaitu menghindari untuk memperlihatkan ketidakpantasan dengan membuat serentetan manipulasi kecil (secara individual tidak material) atas akun-akun tertentu dalam laporan keuangan sehingga membentuk rasionalisasiatas jumlah saldo yang dihasilkan.
2.      Standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan
Dalam pendeteksian kecurangan yang menjadi masalah bukanlah ketiadaan standar pengauditan yang memberikan pedoman bagi upaya pendeteksian kecurangan, tetapi kurang memadainya standar tersebut memberikan arah yang tepat.
·         Keluarnya SAS No. 53, dalam standar ini ditegaskan auditor harus menilai risiko bahwa kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material. Standar ini memandang persyaratan (requirement) terhadap kekeliruan sama dengan kecurangan. Walaupun SAS No. 53 ini telah memuat sejumlah faktor-faktor yang dapat mengindikasi adanya salah saji material, namun menurut Loebbecke et al. standar ini tidak secara spesifikmemberitahukan cara faktor-faktor ini digunakan untuk membedakan antara kekeliruan dengan ketidakberesan serta bagaimana hasil dari tinjauan atas faktor-faktor tersebut diterjemahkan menjadi kecenderungan (likelihood).
·         Untuk mengatasi kelemahan dari SAS No 53 maka mengubahnya menjadi SAS No 82. meminta penilaian risiko kecurangan dilakukan secara eksplisit dan terpisah. Auditor juga diminta untuk mendokumentasikan penilaian risiko kecurangan secara terpisah. Menurut PAE SAS No 82 ini tidak efektif karena hal ini tidak “mengarahkan prosedur audit secara spesifik terhadap pendeteksian kecurangan”.
·         Perubahan SAS No. 82 menjadi SAS No. 99 banyak menyerap rekomendasi yang diberikan PAE, sehingga merupakan upaya perbaikan yang signifikan dalam standar pengauditan. Dalam standar ini diuraikan proses dimana auditor (1) menyajikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi risiko salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan, (2) menilai risikorisiko tersebut setelah mengevaluasi program dan pengendalian oleh entitas dan (3) menanggapi hasil dari penilaian tersebut.
·         Berdasarkan SAS no. 99, tim audit diminta untuk melakukan brainstorming tentang potensi salah saji material karena kecurangan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang pengalaman tim dengan klien dan bagaimana kecurangan bisa terjadi, serta menetapkan “tone at the top” dalam pelaksanaan penugasan audit. Auditor juga harus memperluas lingkup informasi untuk menilai resiko salah saji material karena kecurangan. Selanjutnya auditor harus mempertimbangkan program dan pengendalian atas resiko yang teridentifikasi.
Lingkungan Pekerjaan Audit yang Mengurangi Kualitas Audit
Tekanan – tekanan dalam lingkungan audit dapat berakibat buruk bagi kualitas audit. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan yang tepat. Tekanan dalam lingkungan audit tersebut dapat dibedakan menjadi :
1.    Tekanan kompetisi fee audit
Tingginya kompetisi antar KAP dapat mengakibatkan penurunan fee audit, sehingga KAP akan mengurangi pekerjaan auditnya. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan kecurangan dan penurunan upaya pendeteksian kecurangan.
2.    Tekanan waktu
Adanya tekanan waktu menuntut auditor untuk bekerja secara cepat, sehingga akan menyebabkan auditor gagal untuk menghadirkan sinyal kecurangan dalam bukti audit.
3.    Hubungan auditor – auditee
Adanya hubungan dan komunikasi yang baik antara auditor dan klien dapat mendeteksi kecurangan secara lebih efektif.
Metode dan Prosedur Audit yang tidak Efektif dalam Pendeteksian Kecurangan
Auditor benar-benar tidak mengetahui bagaimana mengubah program audit mereka agar dapat secara efektif mendeteksi kecurangan (Hoffman 1997). Partner yang mampu melihat isyarat melalui suatu “fault” model dapat mengatasi framing effect dan mampu mendeteksi kecurangan, dibanding partner yang menggunakan “functional” model. Fault model yaitu model yang memberi perhatian pada hal-hal yang mengandung kesalahan. Sedangkan model functional memberikan ekspektasi berdasarkan hubungan antara akun-akun seperti penjualan dan margin laba.
Studi yang lain, memberikan perbedaan yang senada yaitu oleh Erickson et al. (2000) yang mencatat perbedaan antara bukti yang berdasar transaksi dan bukti yang berdasar pemahaman bisnis. Erickson et al. merekomendasikan pendekatan yang disebut strategic-risk approach atau business risk audit model (Knechel 2000 dan Eilifsen et al. 2001). Pendekatan ini mempercayai evaluasi praktik akuntansi didasarkan atas pemahaman bisnis dari sekedar evaluasi bisnis yang hanya berdasarkan atas prosedur akuntansi
Analisis atas Upaya Perbaikan dalam Pendeteksian Kecurangan
Faktor utama yaitu karakterisktik terjadinya kecurangan dan kemampuan auditor menghadapinya merupakan faktor tersulit diatasi. Auditor berpengalaman terbaik adalah auditor yang sering menghadapi dan menemukan kecurangan, dan ini sedikit sekali ditemukan.
Faktor kedua yaitu kurangnya standar pengauditan yang memberikan arahan yang tepat merupakan faktor yang relatif mampu ditanggulangi.
Faktor ketiga yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit merupakan faktor yang relatif dapat terkendalikan dan mampu diperbaiki.
Terakhir faktor keempat yaitu metode dan prosedur audit dalam pendeteksian kecurangan merupakan faktor yang relatif dapat dan telah diperbaiki.